Makam Sunan Gunung Jati | Cirebon, Jawa Barat
Adzan Shubuh menggema. Inilah tujuan pertama kami dalam ekspedisi menelusuri jejak walisongo. Kuikuti teman-teman yang berjalan ke arah masjid, melewati gang sempit di tengah perumahan yang cukup padat. Suasananya masih sepi, tidak ada orang lain yang lewat kecuali rombongan kami.
Gerbang Masjid Sunan Gunung Jati terlihat dari arah lurusan gang yang kami lalui. Aku memasuki gerbang itu, meletakkan sepatu di anak tangga pertama.
Aku tak langsung berwudhu, tapi berjalan mengelilingi pelataran masjid yang luas dan memanjang. Lantainya bersih. Terlihat beberapa tubuh lelaki tertidur lelap di pojokan selasar masjid. Tembok masjid menjelaskan usianya yang menua. Hiasan keramik khas China menjadi pemanis ketika mata memandangnya. Beragam artefak keramik itu menempel di setiap titik-titik simetris tembok masjid. Kebanyakan berupa seperti piring. Indah sekali.
Aku berjalan ke arah tempat wudhu. Tidak tercium bau yang mengganggu seperti layaknya masjid-masjid yang kusinggahi di beberapa kampung. Aku mulai berwudhu dan menikmati sejuknya air yang menyegarkan kembali kulitku. Rasa lelah perjalanan 4 jam dari Bogor, sirna. Mataku yang sempat terserang kantuk sebelum memasuki masjid, berubah. Seolah baru bangun dari istirahat panjang. Segar.
Kumasuki area dalam masjid. Banyak orang yang duduk bersila. Masing-masing hanyut pada doa dan zikirnya. Beberapa orang lainnya masih melaksanakan shalat shubuh ataupun shalat sunnah. Begitupun dengan teman-temanku, mereka memilih tempat shalat yang sesuai dengan pilihan hatinya. Mereka berpencar. Aku memilih tempat paling belakang. Lokasi terakhir setelah mataku menerawang memperhatikan seisi masjid yang luas namun mengesankan kesederhanaan. Kulakukan shalat Shubuh setelah sebelumnya melakukan shalat Tahiyyatul Masjid.
Selesai berzikir, aku berdoa untuk Sunan Gunung Jati. Entah kenapa aku masih enggan beranjak menyusul beberapa teman yang sudah tak tampak di dalam masjid ini. Masih kurasakan aura spiritual yang mendamaikan hati.
Benakku membayangkan suasana masa lalu, saat masjid ini masih digunakan oleh Sunan Gunung Jati. Saat “Kota Udang” tempat bertemunya budaya Jawa dan Sunda masih berdiri sebuah Kerajaan Islam Cirebon. Aku teringat kembali saat pernah memasuki Keraton Kasepuhan Cirebon. Di keraton itulah Syarif Hidayatullah yang lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati memimpin Kerajaan Islam Cirebon.
Mengapa Syarif Hidayatullah bisa menjadi raja di Cirebon? Ini tak lepas dari peran paman dan ibunnya sendiri. Pada tahun 1479 Tahta kerajaan Cirebon diserahkan oleh Pangeran Walangsungsang yang bergelar Raja Cakrabuana kepada Syarif Hidayatullah. Raja Cakrabuana adalah paman Syarif Hidayatullah. Kakak dari ibunda Syarif Hidayatullah, Nyi Lara Santang. Kakak beradik itu sejak muda sudah mempelajari Islam dari guru mereka Syech Dzatul Kahfi. Oleh sang guru yang berjuluk Syek Nurul Jati atau Ki Gede Jati, mereka berdua diperintahkan untuk menunaikan Ibadah Haji di Mekkah.
Selesai menunaikan haji, Pangeran Walangsungsang menikahkan adiknya dengan Syarif Abdullah, seorang pembesar kota Mesir dari Klan Al-Ayyubi. Dari pernikahan itulah, Syarif Hidayatullah lahir di Mekkah.
Pada masa kepemimpinan Syarif Hidayatullah, Kerajaan Islam Pakungwati di Cirebon mengalami puncak kemajuan. Kejayaan ini tak lepas dari dukungan Kerajaan Demak dan Walisongo, dimana Syarif Hidayatullah termasuk di dalamnya dengan julukan Sunan Gunung Jati. Pada saatnya, Sunan Gunung Jati lebih terkonsentrasi untuk melakukan safar, perjalanan dakwah ke wilayah Jawa Barat hingga berdirinya Kesultanan Banten.
Mengapa seorang Syarif Hidayatullah mau datang ke tanah Jawa hanya untuk menyebarkan Islam? Tuntutan apakah yang ada pada dirinya, dan apa yang menjadi motifnya? Ini pertanyaan yang muncul di benakku. Saat ini aku belum bisa mencari jawabannya. Dan ini adalah “oleh-oleh” yang harus kubagikan kepada teman-temanku nanti, sebagai bahan diskusi. Inipun harus menjadi catatan akhir dari ekspedisi ini.
Aku beranjak dari dudukku, mencari teman-teman yang sudah tak kelihatan di dalam masjid ini. Kuturuni tangga kecil menuju gerbang luar masjid. Kulihat mereka sedang beristirahat di pelataran sambil bercengkrama. Aku bergabung dalam obrolan ringan. Semua peserta sepakat untuk sarapan pagi di warung nasi yang berada tepat di depan tembok masjid ini.
Setelah sarapan temanku mengajak melanjutkan perjalanan menuju makam. Semua peserta berjalan menelusuri lorong sempit menuju jalan raya, tempat dimana kami memarkir kendaraan. Kamipun menyebrangi jalan raya menuju sebuah kompleks pemakaman, dengan sebuah bertuliskan KRAMAT GUNUNG JATI.
Kumasuki gerbang itu, menyusul teman-teman yang lebih dulu melangkahkan kaki. Kurasakan suasana berbeda dibanding suasana yang kurasakan di masjid tadi. Kuperhatikan pepohonan besar, anak tangga yang mengarahkan kami ke lokasi makam utama, kotak-kotak amal jariah dan penunggunya. Aku berdiri cukup lama sebelum memasuki lebih dalam. Kurasakan lesatan tak kasat mata. Kuperhatikan beberapa singgasana bertengger di pohon-pohon besar itu. Kurasakan sapaku tak terdengar oleh mereka yang dimakamkan di sini. Sudah berapa lama penindasan atas arwah ini terjadi? Terbersit keraguan, apakah ini makam Sunan Gunung Jati?
Seorang petugas penunggu kotak amal memaksaku mengisi kotak yang ia jaga. Kuperhatikan ia menghitung jumlah kami bersembilan, mulai dari teman-temanku yang sudah berada di atas anak tangga, sampai pada diriku sendiri yang paling terakhir. Kuberikan padanya 20 lembar uang kertas seribuan, seraya menyusul teman-teman. Baru selangkah aku meninggalkan kotak amal itu, kudengar umpatan dari sang penunggu, “huh, seribu!” hm… suara itu makin meragukan langkah menuju kompleks ini.
Sampai di makam utama, aku memperhatikan teman-teman yang sudah duduk di depan makam. Dua orang petugas memanggilku agar mengisi buku tamu dan menepuk-nepuk kotak amal di hadapannya. Kuserahkan selembar limapuluhribuan padanya. Sejujurnya, aku merasa terusik dengan cara mereka meminta uang. Meraka tak bicara, hanya menepuk-nepuk kotak dalam kuasanya dan matanya menatapku tajam seolah mengancam. Tapi biarlah itu kurasakan sendiri. Aku tak mau merusak suasana hati teman-temanku yang sudah memulai ziarah.
Mataku terpaku pada sebuah dupa di depan makam. Kualihkan tatapanku pada Kyai Nasrudin, yang sejak awal kuperhatikan seperti enggan memasuki kompleks ini. Begitupun ketika KH. Abdul Rozak memimpin doa, sang Kyai muda itu malah duduk bersandar pada tiang, melipatkaki dan meletakkan lengan kanannya pada dengkulnya. Persis orang yang sedang nongkrong di warung kopi. “Ada yang tidak beres!” pikirku.
Kuikuti panduan KH. Abdul Rozak untuk membaca Al-Fatihah. Hanya segitu konsentrasiku. Saat teman-teman kelihatan khusyu’ berdoa, aku menyudahi doa namun tetap duduk sambil memotret suasana. Tepat ketika aku ingin memotret KH. Abdul Rozak yang memimpin doa, beliau melengos ke belakang dan mengucap tanya, “Ini makam siapa ya?”. Makin jelas sudah kegelisahanku. Ingin rasanya aku tertawa. Tapi kutahan. Kuperhatikan kekhusyukan teman-temankupun lenyap seketika. Wajah-wajah serius mereka berubah penuh tanya. Dengan gagap seorang petugas menjelaskan, bahwa ini adalah makam Syech Dzatul Kahfi atau Ki Gede Jati, gurunya Sunan Gunung Jati. Padahal sebelumnya mereka menyatakan ini adalah makam Sunan Gunung Jadi. Seorang temanku berseloroh, “Saya mau ke makam Sunan Gunung Jati, bukan gurunya!”
Keraguanku membuncah. Petugasnya saja tak mengenal siapa sebenarnya Syech Dzatul Kahfi, yang dianggap guru Sunan Gunung Jati. Yang kutahu dari beberapa babad dan catatan para sejarawan. Orang yang dimakamkan di sini bukanlah guru Sunan Gunung Jati melainkan guru dari Ibunda Sunan Gunung Jati dan Pamannya yang bernama Walangsungsang, yang ketika menjadi Raja Islam Cirebon bergelar Raja Cakrabuana.
Seorang Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, datang ke tanah Jawa ini sudah dengan ilmu yang cukup memadai untuk melakukan Dakwah Islam. Beliau adalah murid dari Syech Tajuddin Al-Kubri di Mekkah dan Berguru selama 2 tahun kepada Syech Ibn Atho’illah yang menulis buku Al-Hikam. Selesai mendalami tarekat Sadziliyyah dari Syech Ibn Atho’illah, barulah Syarif Hidayatullah melaksanakan tuntutan safar bagi para sufi, yaitu menapaki perjalanan panjang yang membentuk sejarah hidupnya.
Perjalanan dakwah ia mulai dengan mengunjungi beberapa negeri hingga singgah selama 3 bulan di Gujarat, India. Di Gujarat ia menerima banyak murid, salah satunya adalah Dipati Keling. Perjalanan ia lanjutkan bersama Dipati Keling dan para pengikutnya ke Samudra Pasai dan menetap selama 2 tahun bersama saudaranya, Syech Maulana Ishaq yang lebih dulu berdakwah di Nusantara.
Dari Pasai, ia melanjutkan perjalanan menuju Cirebon, untuk mengunjungi Ibunya, Nyi Lara Santang. Namun sebelumnya ia berlabuh di Banten, bergabung dengan Syech Ali Rahmatullah yang lebih populer dikenal dengan nama Sunan Ampel, Master Mind Walisongo, yang baru memulai dakwah di wilayah pelabuhan tersebut.
Hingga keluar makam, para petugas itu masih mengikuti kami. Ia mendekati salah seorang temanku dan meminta uang lagi. Kulihat temanku memberikan limapuluh ribu rupiah kepadanya. Aku mengajaknya untuk mendekati sebuah lokasi yang sebelumnya ia bilang sebagai tempat para walisongo berdiskusi. Petilasan tersebut dipagari. Ingin kuberdiri lama di sisi petilasan itu. Namun konsentrasiku terganggu oleh petugas yang sama, yang mengikuti kami dan meminta uang dari orang yang sama pula. Kusimpulkan, orang tersebut hanya meminta, tapi tak melihat siapa yang dipinta. Pertama ia memintaku, kuberikan padanya dengan jumlah yang sama dengan yang diberikan temanku, lalu ia minta kembali, temankupun memberikan. Kini ia meminta lagi kepadanya. Aku memberikan isyarat agar meninggalkan lokasi ini. Temankupun menjauh menyusul teman-teman yang sudah hampir sampai di gerbang luar. Sedangkan aku, sempat singgah sesaat melihat sebuah gua di bawah petilasan walisongo.
Gua tersebut, konon dipercaya sebagai tempat persembunyian walisongo. Sebuah kisah yang sulit kupercaya. Satu saja alasanku. Sebelum Sunan Gunung Jati memimpin Kerajaan Islam Pakungwati di Cirebon ini, rakyat Cirebonpun kebanyakan beragama Islam, berkat dakwah Syech Dzatul Kahfi dan muridnya, Pangeran Walangsungsang, raja Cirebon sebelumnya. Tak ada kondisi yang memaksa bagi Walisongo untuk bersembunyi di gua ini, di sebuah negeri yang terbuka terhadap dakwah Islam.
Kutinggalkan gua dan menyusul teman-teman yang sedang berbincang dengan Kyai Nasrudin di pinggir jalan raya, di depan gerbang Kompleks Pemakaman ini. Sebagian temanku masih ingin mendatangi makam Sunan Gunung Jati yang sebenarnya. Kyai Nasrudin menjelaskan bahwa lokasi makam Sunan Gunung Jati adalah di depan Masjid tempat kami shalat Shubuh. Tepatnya berada di lokasi yang berundak hingga sembilan ketinggian di Gunung Sembung. Namun Kyai Nasrudin menyarankan agar rombongan tak perlu ke sana. Ia sudah mewakilinya tadi. Sedangkan bagiku, di masjid saja sudah cukup.
Inilah perhentian pertama kami dalam perjalanan menapaki jejak para wali. Di kota pertama inilah ketulusan kami diuji. Sempat kurasakan emosi yang nyaris meluruhkan semangatku untuk melanjutkan perjalanan ini. Kesan pertama yang sempat menciptakan keraguanku terhadap perjalanan kami. Apakah perjalanan ini akan memberikan pencerahan spiritual bagiku dan teman-temanku?
Aku kembali berdiri sejenak di depan plang bertuliskan Masjid Sunan Gunung Jati. Kudapatkan keyakinanku kembali untuk melanjutkan perjalanan menuju Demak. Kupikir, pengalaman pada perhentian awal adalah ujian terhadap kesungguhanku dalam melanjutkan misi ini. Kuperhatikan teman-temanku yang juga merasakan keanehan yang sama. Namun semangat mereka lebih kuat ketimbang memikirkan suasana yang mereka dapatkan di kompleks orang suci Syech Ki Gede Jati, yang bagiku sudah berubah menjadi sarang makhluk ghaib yang melayani para pengunjung untuk mencari keramat, mencari rezeki, dan melakukan sesembahan. Memang pedih menyaksikan makam orang suci telah berubah menjadi berhala religi. [mataharitimoer]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar